Suara Rakyat – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyoroti kasus kekerasan seksual yang kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Sebanyak 16 anak diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah dasar Islam di Nagari Campago Selatan, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman.
- Kasus ini mencuat pada bulan Oktober 2025 setelah beberapa anak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Alih alih kasus tersebut dilaporkan ke kepolisian, justru diselesaikan secara kekeluargaan (perdamaian) dengan alasan kasus tersebut adalah “pelecehan ringan”.
Perdamaian adalah Pelanggaran Hukum
Perdamaian merupakan bentuk sikap Kepala Sekolah dalam merespon kasus ini, dengan cara memanggil orang tua korban, terduga pelaku serta Bhabinkamtibmas Polsek V Koto Kampung Dalam yang kemudian terduga pelaku mengakui tindakan kekerasan seksual yang berat tersebut hingga berujung pada penyelesaian kasus secara kekeluargaan.
Keputusan ini menimbulkan kontra dikalangan masyarakat, serta sikap seperti ini adalah bentuk kesalahan berpikir (miskonsepsi hukum) dari pihak sekolah serta aparat penegak hukum. Menurut Annisa Hamda – Staf Bidang Hak Asasi dan Minoritas Rentan “Dimana seharusnya kasus kekerasan seksual merupakan delik biasa, pada dasarnya tidak dapat dilakukan perdamaian atau mediasi sebagaimana diatur tegas dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)” ujarnya.
Lebih lanjut Annisa menjelaskan bahwa terduga pelaku merupakan tenaga pendidik yang seharusnya menciptakan lingkungan pendidikan aman dan nyaman justru menjadi sebaliknya yang mengakibatkan anak mengalami ketakutan dan trauma berat.
Pilihan damai ini, dengan alasan “pelecehan ringan” merupakan preseden buruk yang melegitimasi impunitas pelaku, sekaligus melanggar hak anak atas keadilan dan pemulihan dan jaminan lingkungan pendidikan yang aman dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan.
Terlepas dari kasus ini, dari pemantauan media yang dilakukan oleh LBH Padang tercatat Kabupaten Padang Pariaman pada tahun awal 2025 hingga Oktober 2025 lebih dari 50 perempuan dan anak menjadi korban kekerasan, diantaranya kekerasan seksual, hingga femisida. Terferivikasi terduga pelaku merupakan orang terdekat berupa ayah kandung, ayah tiri, guru, tetangga dan kerabat lainnya yang memiliki relasi kuasa terhadap korban.
Anisa Hamda menambahkan bahwa situasi ini adalah bentuk indikasi adanya krisis perlindungan dan kegagalan sistemik dari pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dalam menjamin hak asasi manusia, khususnya hak anak dan perempuan.
Data lebih dari 50 korban kekerasan seksual di Padang Pariaman adalah bukti nyata krisis perlindungan di tengah keberadaan landasan hukum yang kuat, yaitu Permendikbud 46/2023 jika kekerasan seksual tersebut terjadi di lingkungan pendidikan, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak.
Kegagalan ini tidak disebabkan oleh ketiadaan aturan, melainkan oleh kelemahan signifikan dalam implementasi di tingkat akar rumput. Banyak kasus masih diselimuti oleh stigma sosial dan budaya patriarki, diperparah oleh krisis kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Menurut Anisa Hamda “masalah utamanya adalah akuntabilitas institusi sekolah yang lumpuh dan inkonsistensi aparat penegak hukum dalam menerapkan UU TPKS. LBH Padang memandang bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak berakar pada persoalan struktural, yakni ketidaksetaraan gender dan penyalahgunaan relasi kuasa” tegasnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman harus melakukan intervensi yang tidak hanya bersifat kuratif (penanganan setelah kejadian) tetapi juga bersifat preventif dan struktural, dimulai dengan memastikan alokasi anggaran dan sumber daya yang memadai untuk layanan komprehensif (pendampingan psikologis dan hukum) demi menjamin hak pemulihan setiap korban.”
Angka 50 lebih korban perempuan dan anak sepanjang 2025, yang puncaknya ditandai dengan kasus 16 anak korban kekerasan seksual saat ini merupakan alarm keras yang menegaskan Kabupaten Padang Pariaman berada dalam situasi darurat kekerasan. LBH Padang mendesak seluruh stakeholder, dari Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman hingga aparat penegak hukum, untuk:
- Menghentikan praktik perdamaian/mediasi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak;
- Memproses hukum setiap pelaku secara konsisten tanpa diskriminasi;
- Menindak tegas pihak yang menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice);
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja TPPK dan Kepala Sekolah;
- Memastikan adanya alokasi anggaran dari sumber daya untuk layanan pemulihan korban secara komprehensif;
- Pemerintahan Kabupaten Pariaman mesti menjadikan agenda perlindungan perempuan dan anak menjadi utama.
LBH Padang menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin hak anak atas keadilan, pemulihan dan perlindungan dari kekerasan. kasus 16 anak korban korban kekerasan seksual ini harus menjadi momentum evaluasi total terhadap sistem perlindungan anak di Kabupaten Padang Pariaman dan Sumatera Barat.