Suara Rakyat – Pada tanggal 28 Maret 2023 Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi penanaman Modal, atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerbitkan surat Nomor 28032311111309002 tentang Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada Hutan Produksi a.n. PT Sumber Permata Sipora (PT.SPS), seluas 20.706 ha di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dengan persetujuan komitmen ini, PT. SPS diberi hak untuk memanfaatkan hasil kayu hutan alam dan hasil Hutan Bukan Kayu serta jasa lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat, menyatakan bahwa rencana usaha ini tidak layak lingkungan, karena:
- Pulau Sipora yang hanya berukuran 615,18 km2 (kurang dari 000 km2) adalah pulau kecil berdasarkan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terakhir perubahannya dengan UU Nomor 6 Tahun 2023. Berdasarkan UU ini pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Karena itu UU ini menetapkan prioritas kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk kepentingan Konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan atau pertahanan dan keamanan negara. Sebagai hukum khusus yang berlaku atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka keberlakuan UU Kehutanan dan tata ruang selaku hukum yang umum dikesampingkan oleh UU ini berdasarkan azas lex specialis derogate lex generalis.
- Terdapat cacat serius dalam proses penyusunan dan substansi dokumen Kerangka Acuan dan Dokumen ANDAL yaitu:


Koalisi Audensi dengan Gubernur Sumatera Barat Untuk Lindungi Ruang Hidup Masyarakat Mentawai
- Ketidaksesuaian Nomor Izin Klasifikasi Baku Lapangan Berusaha Indonesia (KBLI) dengan Rencana usaha yang dicantumkan dalam permohonan izin Lingkungan. Permohonan PT. SPS memiliki kode KBLI 02111(bidang usaha Pemanfaatan Kayu Hutan Tanaman). Dalam permohonan persetujuan lingkungan PT. SPS mencantumkan kode KBLI 02121 yaitu Pemanfaatan Kayu Hutan Alam dan 0230 Untuk Hasil Hutan Bukan Kayu. Perbedaan klasifikasi ini menyebabkan kekeliruan dalam penilaian dampak lingkungan, karena pemanfaatan kayu dari hutan alam memiliki tingkat risiko ekologis yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tanaman, baik dari sisi keanekaragaman hayati, fungsi lindung, maupun kerentanan kawasan. Selain itu, pencantuman KBLI yang tidak sesuai juga dapat menyesatkan proses evaluasi AMDAL dan menjadi celah penyalahgunaan izin untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana usaha yang sebenarnya.
- Pengolahan yang kami lakukan dengan aplikasi perpetaan (Geographic Information system) menghasilkan bahwa dari 132 titik koordinat yang terdapat dalam lampiran surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha Nomor 16042510411309002 yang dikeluarkan oleh Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal a.n Menteri Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional tanggal 24 Januari 2023, ternyata berada di Kelurahan Ciwaringin Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor Provinsi Jawa Barat seluas 407 ha. Lokasi tersebut berbeda dengan lokasi rencana usaha yang disebutkan dalam persetujuan komitmen dan dokumen AMDAL PBPH PT. SPS yang berlokasi di Sipora seluas 20.706 Ha. Kesalahan ini merupakan kekeliruan yang fatal dan tidak dapat ditoleransi, karena menyangkut legalitas lokasi perizinan dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. Ketidaksesuaian antara titik koordinat dalam persetujuan pemanfaatan ruang dan lokasi aktual kegiatan usaha bukan hanya mencerminkan lemahnya proses verifikasi dokumen oleh pihak yang berwenang, tetapi juga kesalahan pada objek. Dalam konteks perizinan PBPH PT. SPS di Pulau Sipora, ketidaksesuaian lokasi ini memperkuat dugaan bahwa proses penerbitan izin dilakukan secara serampangan dan tanpa dasar yang sah, sehingga perlu segera dilakukan evaluasi menyeluruh dan pembatalan terhadap persetujuan yang telah dikeluarkan tersebut.
- Kajian rona awal lingkungan dalam studi AMDAL tidak komprehensif dan tidak akurat. Hal ini terlihat pada:
- Wilayah studi dalam penyusunan AMDAL tidak meliputi keseluruhan area yang diperkirakan akan terdampak akibat aktivitas PBPH PT. SPS. Terutama daerah pesisir dan perairan laut. Akibatnya dampak lingkungan yang terjadi di lokasi-lokasi tersebut tidak akan terpantau dan
- Perusahaan akan membangun atau revitalisasi jalan utama sepanjang 130 km. Namun dalam dokumen AMDAL tidak ditemukan informasi yang menjelaskan sumber material yang akan digunakan untuk membangun atau revitalisasi jalan- jalan tersebut. Akibatnya tidak ada identifikasi dampak lingkungan pada kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan atau revitalisasi jalan tersebut, baik dampak yang terjadi di lokasi sumber pengambilan bahan material maupun dampak dampak yang terjadi pada kegiatan mobilisasi material pengerasan Tanpa adanya informasi mengenai lokasi quarry atau sumber material, maka tidak ada analisis mengenai perubahan bentang alam, degradasi habitat, potensi longsor, sedimentasi, pencemaran air, maupun konflik lahan yang mungkin terjadi di lokasi pengambilan material. Selain itu, mobilisasi material menuju lokasi proyek yang melibatkan ratusan hingga ribuan kendaraan berat akan menimbulkan peningkatan emisi, kebisingan, kerusakan jalan lokal, dan potensi kecelakaan lalu lintas, khususnya jika melewati permukiman atau kawasan sensitif ekologis.
- Tidak terdapat data awal yang berkaitan dengan keberadaan satwa endemic dan satwa liar dilindungi lainnya di lokasi rencana usaha, baik mengenai jumlah, sebaran, perkembangan, kualitas habitat dan karakter dari satwa-satwa tersebut. Informasi dasar mengenai satwa seperti jumlah populasi, wilayah jelajah, pola migrasi, hingga ketergantungan terhadap tipe habitat tertentu merupakan elemen penting untuk menilai signifikansi dampak suatu kegiatan terhadap keanekaragaman Rencana kegiatan usaha dapat berpotensi melanggar hukum karena menyebabkan perusakan habitat secara ilegal dan ancaman kepunahan terhadap spesies endemik. Hal ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga berkonsekuensi hukum karena dapat melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta peraturan turunan lainnya.
- Dalam dokumen AMDAL tidak ditemukan informasi mengenai kelompok marginal yang keberlanjutan kegiatan ekonominya harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya ibu-ibu rumah tangga pembudidaya Toek (Pangan Lokal). Mereka adalah bagian dari kelompok Masyarakat yang tidak akan direkrut menjadi karyawan di PT. SPS. Sementara pendapatan mereka yang bersumber dari penjualan toek terancam hilang, akibat potensi memburuknya kondisi Sungai, baik karena pelumpuran akibat penebangan kayu pada daerah tangkapan airnya, maupun karena cemaran kimiawi seperti ceceran atau rembesan oli dan minyak ke badan sungai dan anak Sungai. Ketidakhadiran analisis mengenai kelompok marginal dalam AMDAL bukan hanya cacat secara teknis, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip keberlanjutan dan inklusivitas.
- Beberapa data yang digunakan dalam kajian AMDAL bukanlah data primer yang diambil dari lokasi di dalam dan sekitar rencana Sehingga data-data tersebut belum tentu memberikan gambaran kondisi lingkungan Lokasi rencana usaha yang sesungguhnya.Misalnya penggunaan data sekunder berkaitan dengan data hidrologi, debit sungai, dan satwa. Bahkan sebagian data yang digunakan adalah data yang sampelnya diambil di pulau Siberut. Pulau yang terpisah cukup jauh dari Pulau Sipora yang menjadi Lokasi rencana usaha PBPH PT. SPS. Penggunaan data seperti ini potensial menimbulkan kesalahan dalam mengidentifikasi dampak, sehingga tidak tepat pula dalam pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup
- Meskipun disebutkan bahwa PBPH ini akan membuka lapangan kerja, tetapi tidak terlihat dalam AMDAL tentang prioritas serapan tenaga kerja bagi Masyarakat lokal. Artinya penerimaan tenaga kerja akan dilakukan dengan seleksi terbuka, yang memungkinkan tenaga kerja lokal tersingkir dalam proses seleksi, terutama untuk posisi-posisi yang membutuhkan skil. Dalam dokumen AMDAL juga tidak digambarkan tentang jumlah penduduk yang akan kehilangan pekerjaan karena hilangnya hak dan akses untuk memanfaatkan hutan yang menjadi areal konsesi. Juga tidak ada Gambaran mengenai berapa jumlah jiwa yang akan terdampak, jika sejumlah penduduk akan kehilangan kesempatan dalam memanfaatkan hutan. Karena tidak tergambarkan sebagai dampak, maka Perusahaan tidak memiliki rencana pemantauan dan pengelolaan untuk mengelola dampak kehilangan pekerjaan dan pendapatan tersebut.
- Proses penyusunan AMDAl ini tidak partisipatif. Dalam pertemuan yang hanya dilakukan satu kali, pihak SPS hanya mengundang 4 orang dari setiap desa. Keempat orang tersebut pasti gagal mewakili ragam kepentingan dari keseluruhan warga desa. Pengumuman tentang pelaksanaan study AMDAL, juga hanya diumumkan pada koran-koran yang tidak beredar secara luas di desa-desa yang menjadi Lokasi rencana usaha PBPH PT. SPS, sehingga pengumuman tersebut tidak menjadikan Masyarakat di Lokasi rencana usaha sudah terinformasikan terkait dengan rencana usaha ini.

- Dalam rona awal lingkungan tidak ada penggambaran yang cukup mengenai potensi bencana. Padahal Sipora dan pulau-pulau lainnya merupakan daerah yang rawan bencana gempa dan Penebangan hutan dalam skala besar, akan meningkatkan kerentanan pulau dan penduduknya, terutama pada saat tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kebutuhan kayu untuk material bangunan utama akan sulit diperoleh, dan meningkatkan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain Gempa dan tsunami, Sipora juga rentan dengan bencana ekologis terutama banjir dan longsor. Sepanjang tahun 2024 disipora telah terjadi 29 kali kejadian bencana yaitu gempa bumi 7 kali, cuaca ekstrem 7 Kali, banjir 6 kali, tanah longsor 3 kali, kebakaran rumah 2 kali, pergerakan tanah 1 kali dan abrasi 1 kali. Pada tanggal 9-10 Juni juga telah terjadi di 6 desa dengan jumlah terdampak 183 KKdi Sipora utara dan 105 KK di Sipora Selatan. Kegiatan PBPH PT. SPS berpotensi meningkatkan resiko bencana. Luputnya memasukkan kerawanan bencana, membuat dokumen AMDAL gagal merumuskan tindakan pemantauan dan pengelolaan untuk menghilangkan atau menurunkan resiko bencana ini.
Berdasarkan temuan dan kajian terhadap dokumen perizinan serta dokumen AMDAL PT. SPS di Pulau Sipora, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
- Mendesak Menteri Kehutanan serta Menteri Investasi/BKPM untuk segera membatalkan izin Persetujuan Komitmen PBPH atas nama PT. SPS, karena cacat prosedural, substansi, dan administratif yang membahayakan keselamatan lingkungan dan hak hidup masyarakat adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai
- Meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menegakkan ketentuan UU No. 27 Tahun 2007, jo. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil seperti Sipora harus diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan, riset, pariwisata berkelanjutan, dan ketahanan pangan lokal— bukan untuk eksploitasi hutan dalam skala besar.
- Mendesak Tim Uji kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar untuk menyatakan rencana usaha PT. SPS tidak layak lingkungan dan Komisi Penilai AMDAL Pusat tidak menerbitkan persetujuan lingkungan untuk PBPH SPS.
- Menuntut pembatalan dokumen AMDAL PT. SPS karena disusun secara tidak partisipatif, tidak berbasis data primer, mengandung banyak kekeliruan teknis, serta mengabaikan aspek penting seperti keanekaragaman hayati, kerawanan bencana, dampak sosial ekonomi, serta hak-hak masyarakat adat.
- Menolak seluruh bentuk kegiatan penebangan hutan alam di Pulau Sipora, karena akan memperparah krisis ekologis, memperbesar risiko bencana, serta mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adat dan lokal, terutama kelompok marginal seperti perempuan pembudidaya pangan lokal (toek).
Padang, 17 Juni 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat