Suara Rakyat – Hari ini 24 September 2023 diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Hari yang seharusnya menjadi pengingat bagi negara untuk memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kedaulatan petani atas tanahnya dan ruang hidupnya.
YLBHI menemukan bahwa proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat. Pembangunan PSN dan industri SDA juga menimbulkan kerusakan alam dan konflik-konflik yang membara. Dalam memenuhi ambisi proyek-proyek ini negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (Excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri. YLBHI menemukan angka yang sangat tinggi di mana para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi.
Baca juga: Walikota Padang Berhenti Hadapkan PKL Pantai Padang dengan Satpol PP dan Aparat
Secara umum, deretan konflik agraria disertai kekerasan negara terhadap rakyatnya disebabkan oleh corak/paradigma pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi bukan berbasis hak. Pembangunan yang menghamba pada investor dan dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja serta turunannya, UU Minerba, dll yang dibuat secara sewenang-wenang dan melanggar konstitusi. Pemerintah juga melegalkan perampasan-perampasan tanah rakyat atas nama Hak Pengelolaan atau klaim tanah negara. Pembangunan-pembangunan ini sarat akan konflik kepentingan bisnis dan politik juga penyelesaian konflik menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan. Di sisi lain, kebijakan terkait reforma agraria rezim Jokowi disimplikasi dengan bagi-bagi tanah, bukan pada substansi perombakan struktur timpang penguasaan lahan.
Konflik-konflik agraria disertai dengan kekerasan terhadap rakyat tersebut telah berdampak struktural pada pelanggaran hak-hak sipil dan politik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi ICESCR, antara lain: hak atas integritas fisik; kebebasan berekspresi; hak atas rasa aman; kebebasan bergerak; persamaan dan perlindungan hukum; hak atas tempat tinggal; hak atas sandang dan pangan; pekerjaan; hak pendidikan; kesehatan; perlindungan sosial; dan lingkungan hidup. Hilangnya hak-hak dasar tersebut berakibat pada penurunan kualitas hidup layak warga negara, kemiskinan yang memburuk, ketimpangan ekonomi dan sosial, hingga kehilangan harapan hidup.
Baca Juga: Masyarakat Air Bangis dan Bidar Alam datangi Kementerian ATR/BPN Desak kasus konflik agraria
YLBHI mendata kekerasan terhadap petani dari penanganan kasus 18 LBH Kantor selama tahun 2017-2023. Waktu tujuh tahun ditetapkan berdasarkan dimulainya PSN sejak 2016. Paparan data kriminalisasi ini mencakup wilayah konflik SDA, khususnya di wilayah PSN. Data ini terbagi dalam beberapa variabel, antara lain: jumlah konflik, luas wilayah konflik dan jumlah korban; pelaku kekerasan dan kriminalisasi; pola kekerasan; undang-undang yang sering digunakan; penyebab dan dampak struktural konflik.
Sebanyak 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI-LBH kantor di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik adalah ±800.000 ha dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban. Sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dengan 37 kasus di posisi kedua. Lalu, diikuti dengan konflik PSN dengan 35 kasus. Tingginya konflik di sektor perkebunan setidaknya disebabkan oleh dua faktor yaitu: warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan; dan melibatkan dua aktor yang kuat, negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki HGU skala luas. Sementara itu, sektor PSN yang baru muncul tujuh tahun terakhir menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik.
YLBHI memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik. Tingginya keterlibatan perusahaan swasta disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1). warisan penguasaan HGU yang masih didominasi oleh swasta ditambah dengan pemberian HGU baru khususnya perkebunan sawit; 2). Meningkatnya industri ekstraktif karena kemudahan perizinan, kelindan kepentingan bisnis tambang dan politik, dan korupsi perizinan; dan 3). Keterlibatan perusahaan swasta sebagai penunggang gelap PSN. Sedangkan, Pemerintah Daerah dan Polri berada pada posisi paling depan menghadapi konflik yang selalu menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Baca juga: Audiensi Kasus Konflik Agraria di Nagari Air Bangis dan Bidar Alam ke Komnas HAM
Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda. Secara garis besar terdapat 3 pola, yaitu: Pertama adalah pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan dalam bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua adalah pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga adalah kriminalisasi dengan 43 kasus. Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap, misalkan diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi.
Selanjutnya, warga yang dikriminalkan dijadikan sebagai alat negosiasi hingga terjadinya perpecahan masyarakat, pro dan kontra.
Dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. Kemudian diikuti oleh UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani ini berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado.
Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus). Di Jawa Tengah, 6 warga Dieng dikriminalisasi oleh PT Geo Dipa, sebuah perusahaan Geothermal yang sedang membangun proyek pembangkit listrik panas bumi di Dieng. Sedangkan 4 warga di Batang dikriminalisasi oleh PT BPI dalam penolakannya terhadap PLTU Pesisir Batang. Sedangkan di Padang, kriminalisasi dilakukan oleh PT Hitay Daya Energy dalam membungkam penolakan petani lereng Gunung Talang terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Ditambah dengan 6 orang petani Bidar Alam yang saat ini di tahan Polres Solok Selatan yang dituduh mencuri di tanah sendiri
Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, pasal 362 yang memuat delik pidana “pencurian”. Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang. Keempat, pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Dan terakhir, adalah pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.
Berdasarkan situasi tersebut di atas, maka pada Hari Tani Nasional 24 September 2023 ini, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak Pemerintah dan DPR serta Kementerian dan Lembaga terkait untuk:
- Membatalkan semua Proyek Strategis Nasional yang justru terbukti merugikan rakyat, memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Negara melalui aparaturnya kepada rakyat di berbagai wilayah;
- Menghentikan perampasan tanah rakyat atas nama Hak Pengelolaan dan klaim tanah negara;
- Menghentikan penggunaan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam penyelesaian konflik SDA dan PSN;
- Menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik agraria dan PSN;
- Mencabut UU Cipta Kerja beserta turunannya sebagai pemicu meningkatnya praktik perampasan tanah dan kekerasan negara terhadap rakyat;
- Menghentikan program – program nasional berkedok Reforma Agraria atau Reforma Agraria palsu;
- Menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh pejuang agraria dan lingkungan hidup dan melepaskan tanpa syarat seluruh pejuang agraria dan LH dari tahanan dan jerat kriminalisasi;
- Mamastikan Negara mengimplementasikan mandat konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negera untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk investor dan/atau para penguasa cum pengusaha;
Jakarta, 24 September 2023