Mengecam Arogansi dan Kekerasan yang diduga dilakukan Aparat Kepolisian dalam Konflik Galian C di Buayan

LBH Padang menerima pengaduan dari Pemuda dan masyarakat Buayan,  Kabupaten Padang Pariaman pada Selasa 19 Januari 2020. Masyarakat melaporkan aktifitas penambangan bahan galian golongan C  yang berpotensi akan menyebabkan persoalan bagi lingkungan karena dekat dengan sungai, lahan garapan dan pemukiman masyarakat. Masyarakat juga mengeluhkan soal proses penerbitan izin yang tidak transparans. Awalnya perusahaan datang untuk meminta izin mendirikan perumahan namun nyatanya mereka justru membuka lahan untuk ditambang.Akibatnya kini masyarakat tidak bisa menggarap ladang-ladang yang masuk dalam areal izin, sehingga  tanah yang menjadi tapak izin galian c saat ini masih bersengketa.

Dalam perjalanannya masyarakat melakukan upaya protes ke berbagai pihak. Protes digulirkan mulai dari pemerintahan nagari, kecamatan hingga ke Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Sumatera Barat. Namun Pemerintah Provinsi tetap saja meningkatkan status Izin dari Izin Eksplorasi ke Izin Operasi Produksi melalui Keputusan Gubernur Sumatera  Barat Nomor : 570 / 1971-PERIZ/DPM&PTSP/X/2020 tanggal 14 Oktober 2020. Akibatnya masyarakat melakukan serangkaian aksi demonstrasi di lokasi simpang Korong simpang Nagari Buaian Lubuk Alung. 22 Desember 2020,  masyarakat datang menghadap bamus, perwakilan nagari, pihak Perusahaan dan salah seorang anggota Kepolisian, dalam pertemuan tersebut masyarakat meminta agar aktivitas pertambangan dihentikan.  Namun hanya berselang 2 hari aktifitas mobil pengangkut bahan galian kembali beroperasi. Saat itu, pihak aparat kepolisian telah bersiaga di lokasi sehingga terjadi ketegangan antara masyarakat dengan anggota kepolisian yang berjaga.

Selanjutnya pada 13 Januari 2021 Persatuan Pemuda Pemudi Nagari Buayan Lubuk Alung mengirimkan surat yang disampaikan kepada 16 instansi dan lembaga, yang pada intinya menolak aktifitas pertambangan bahan Galian C dan meminta Gubernur untuk mencabut kembali izin yang telah diterbitkan. Ke esokan harinya dilakukan pertemuan di kantor camat guna menindaklanjuti surat yang dilayangkan oleh Persatuan Pemuda Pemudi Nagari Buayan Lubuk Alun, namun pertemuan tersebut tidak berujung pada kesepakatan apapun.

Pada 18 Januari masyarakat kembali mendapati mobil yang pengangkut material yang keluar dari lokasi, pada saat itu 8 orang anggota masyarakat segera berkumpul di depan pagar pintu keluar areal tambang. Seketika masyarakat didatangi oleh 5 (lima) orang anggota kepolisian, 4 diantaranya tidak berseragam, yang langsung mengapit leher dan lengan salah seorang masyarakat, seorang petugas lain menarik kerah baju salah seorang masyarakat hingga robek sambil mengeluarkan senjata api dan mengancam akan menembakan senjata api tersebu. Tidak hanya berhenti sampai disitu, salah seorang anggota kepolisian menembakkan senjata api ke udara sebanyak 2 kali sehingga memprovokasi  masyarakat nagari lainnya datang dan berkumpul.  Sekitar 500 orang masyarakat berkumpul akibat mendengar suara letusan senjata api, namun masyarakat akhirnya dapat diredam setelah anggota polsek dan perwakilan kapolres datang dan membubarkan kerumunan.

LBH Padang memandang tindakan aparat kepolisian yang mengancam masyarakat sipil dengan senjata api sebagai bentuk arogansi dan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,  tidak ada situasi urgen yang memaksa kepolisian untuk mengeluarkan senjata api dan mengancam masyarakat sipil yang pada waktu itu tidak bersenjata, tindakan represif dan berlebihan dalam melakukan pengamanan terhadap aktifitas tambang justru akan memicu tindakan kekerasan lain yang berakibat pada situasi konflik yang semakin memburuk.

Oleh karena itu LBH Padang meminta kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat untuk :

  1. Menarik aparat kepolisian yang berjaga di sekitar lokasi pertambangan;
  2. Menindak tegas aparat kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran etik dan tindakan yang tidak profesional yang mengarah kepada tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan senjata api;
  3. Menggunakan pendekatan dialogis dan humanis dalam membantu menyelesaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan.