Hentikan Potensi Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin


Konflik PT. Ranah Andalas Plantation (RAP) dengan masyarakat Nagari Bidar Alam dan Masyarakat Nagari Ranah Pantai Cermin Kabupaten Solok Selatan kembali berujung kepada pemanggilan dua orang masyarakat oleh Polres Solok Selatan. Pemanggilan dua orang masyarakat di Bidar alam ini sebagai saksi yang berawal dari laporan polisi Nomor : LP/168/IX/2020/SPKT terkait tindak pidana pencurian pada tanggal 14 September 2020.


Permasalahan ini bermula dari konflik agraria yang masih belum terselesaikan di Kabupaten Solok Selatan. Padahal PT. RAP yang diduga melaporkan masyarakat tidak lagi memiliki legalitas apapun. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Solok Selatan yang mecabut izin lokasi PT. RAP pada tertanggal 29 Juli 2008 yang lalu. Selain itu, PT. RAP juga tidak mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin. Awalnya PT. RAP hadir akibat perjanjian antara ninik mamak dengan PT. RAP akan adanya pembagian hasil 60% – 40% semenjak dibangunnya perkebunan tapi hingga pada saat ini masyarakat tidak mendapatkan haknya sama sekali dari PT. RAP. Sudah 16 tahun masyarakat menunggu itikad baik dari PT.RAP untuk memberikan perolehan bagi hasil 40 % dari hasil panen tak kunjung jua didapatkan hingga saat ini.

Akibatnya, 2014 difasilitasi oleh Pemerintahan Solok Selatan dibuatkan perjanjian tambahan antara masyarakat dan perusahaan. Dalam pasal 4 menyatakan “PT. Ranah Andalas Plantation dan menyetujui tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk menyempurnakan pembangunan kebun sesuai dengan standar perkebunan dan setelah 2 (dua) tahun perusahaan harus melakukan pembagian hasil. Seandainya selama 2 (dua) tahun tidak dilaksanakan maka lahan masyarakat akan dikembalikan sesuai dengan ketentuan hukum berlaku.” Faktanya semenjak perjanjian ini dimulai semenjak 1 Januari 2015 hingga berakhirnya sampai pada 1 Januari 2017, perusahaan tidak juga menyempurnakan perkebunan dengan standar perkebunan seperti hal Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Perkebunan (IUP), dan Izin Lokasi.

Artinya dari kesepakatan tersebut PT. RAP diduga ingkar janji dan membohongi masyarakat dan pemerintah daerah karena tidak menyerahkan hak masyarakat dan juga tidak melakukan pembangunan perkebunan dengan standar perkebunan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Alhasil pertengahan tahun 2020 masyarakat melakukan reklaiming haknya dengan melakukan panen di tanahnya masing-masing akibat tidak ada penyelesaian konflik oleh pemerintah daerah hingga saat ini. Pilihan melakukan reklaiming hak oleh masyarakat didasari situasi kebutuhan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang semakin memburuk.


Namun, Polres Solok Selatan malah menanggapi reklaiming hak dengan pemanggilan terhadap dua orang masyarakat sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana pencurian. Kondisi ini tentunya semakin memperuncing konflik di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin. Menurut Diki Rafiqi, Kepala Bidang Sumber Daya Alam LBH Padang “kami melihat pemanggilan ini diduga untuk membungkam perjuangan hak yang dilakukan masyarakat. Sebelum Polres Solok Selatan menerima pelaporan PT. RAP mestinya kepolisian mempertanyakan legalitas perusahaan. Padahal PT.RAP tidak hanya merugikan masyarakat namun juga merugikan negara dengan tidak membayar pajak.”

Harusnya polisi dalam hal ini netral, perlu kami ingatkan antara PT. RAP dan masyarakat ada perjanjian kerjasama yang tak kunjung direalisasikan oleh perusahaan ujarnya.
Lebih lanjut, Tommy Adam, Kepala Departemen Kajian, Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Barat “kondisi ini menciderai rasa keadilan di Sumatera Barat khususnya di Kab. Solok Selatan”. Bupati seharusnya menjadi wakil dari rakyat malah hilang dan tak mempedulikan konflik yang berlarut ini. Seaakan Bupati Solok selatan sengaja melakukan pembiaran atas kasus ini dan mengorbankan rakyat kecil berurusan dengan penegak hukum.” ujarnya.


Dalam permasalahan ini LBH Padang dan WALHI Sumbar mendesak :
1.Kepolisian Resort Solok Selatan untuk menghentikan potensi kriminalisasi masyarakat yang sudah 16 tahun menderita akibat PT.RAP;
2.Kepolisian Resort Solok Selatan mengusut tuntas dugaan perusahaan yang beraktivitas secara illegal dan dugaan tidak mmebayar pajak kepada negara;
3.Bupati Solok Selatan untuk segera melakukan penyelesaian konflik agraria dengan mendorong legalisasi aset tanah masyarakat yang berkolaborasi dengan Badan Pertanahan Nasional agar terselesaikan dengan cepat sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor: 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.