Suara Rakyat – Pada tanggal 24 September merupakan hari yang bersejarah bagi seluruh petani di Indonesia. Penetapan hari tani nasioanl dilakukan pada masa Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963. Keputusan ini merupakan salah satu bentuk upaya Negara Indonesia untuk mengenang lahirnya Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dimana UUPA merupakan kerja keras selama 12 Tahun dalam menemukan hukum agraria Indonesia yang mengamanatkan untuk reforma agraria (land reform).
Hakekatnya reforma agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan atau kepemilikan tanah yang lebih adil. Selain itu, reforma agraria merupakan upaya penciptaan keadilan sosial sebagaimana tertuang pada sila ke 5 Pancasila yang ditandai dengan keadilan agraria (agrarian justice). Karena alasan-alasan tersebut membuat hari tani nasioanal merupakan hari yang bersejarah dan tonggak awal dalam bangsa ini untuk menciptkan keadilan sosial.
Keadilan sosial yang dicita-citakan dengan prasyarat keadilan agraria makin jauh panggang dari api. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan hukum yang semakin mempersempit ruang hidup petani dan masyarakat adat. Selain itu, semakin kaburnya keberpihakan negara kepada petani di Indonesia.
Konflik Agraria
Pada saat ini telah terjadi ketimpangan penguasaan tanah di negara Indonesia yang membuat adanya ketimpangan. Dimana dominasi penguasaan tanah lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki modal beasar. Sedangkan petani yang seharusnya mendapatkan jaminan hak atas tanah, saat ini hanya menjadi penonton dari kesejahteraan perusahaan besar. Hal ini tidak dapat dipungkiri berdampak kepada terjadinya konflik agraria yang menahun.
Sepanjang Tahun 2022 ini, masih terus terjadi konflik agraria antara petani atau masyarakat adat dengan perusahaan atau negara. Dalam catatan LBH Padang, terdapat 13 titik konflik agraria dengan seluas 11.930 Hektare dan tersebar di 7 Kabupaten di Sumatera Barat pada tahun 2022 ini. Tipologi konflik agraria yang sedang terjadi di Sumatera Barat antaranya: Pertambangan, Perkebunan, Ibukota Kabupaten, Proyek Strategi Nasional, dan Kehutanan. Atas konflik yang sedang terjadi terdampak kepada 2802 Kepala Keluarag (KK) dan 8426 orang.
Daerah terbanyak sebaran konflik berada di Kabupaten Pasaman barat yang berjumlah 7 titik konflik. Sumber Konflik di Kabupaten Pasaman Barat sendiri berasal dari konflik perkebunan dan Kehutanan (Petani dengan Negara). Selanjutnya daerah Kabupaten Solok berjumlah 2 kasus (sumber Konflik: energi dan pertambangan), dan Kabupaten Agam berjumlah 2 kasus (sumber konflik: perusahaan dan kehutanan). Selain itu dari Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang masing-masing terdiri dari 1 titik konflik agraria. Dari 4 daerah tersebut, sumber konflik terdiri dari pertambangan, perkebunan, pemindahan ibukota kabupaten, dan PKKNK.
Dampak
Dari konflik agrari yang terjadi, menyisahkan kepedihan bagi kelompok yang terdampak. Dampak yang umum terasa terjadi kepada identitas adat dan budaya yang sudah ada. Dimana identitas adat dan budaya sebenarnya tidak bisa kita lepaskan dari tanah itu sendiri. Hilangnya penguasaan tanah secara tidak langsung berdampak hilangnya identitas adat dan budaya yang ada di daera tersebut.
Jika kita lihat dampak konflik agraria lebih jauh lagi, dampak terbesar sebenarnya terjadi kepada kelompok perempuan. Ditambah dengan konsep kepemilikan di Minang Kabau yang memakai sistem matrilineal yaitu faktor genealogis yang dijadikan sebagai dasar organisasi masyarakat Minangkabau melalui garis keturunan ibu (Aslan Noor, 2006:179). Kelompok Perempuan memiliki hubungan yang cukup erat dengan tanah. Di kehidupan sehari-hari perempuan berhubungan terus menerus dengan tanah (Pusako Randah dan Pusako Tinggi) baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebatinan. Jika hal tersebut berkonflik tentunya berdampak kepada kelompok perempuna, apalagi jika sudah terjadi kerusakan alam yang di akibatkan usaha-usaha ekraktif, tentunya semakin mengancam kelompok perempuan.
Kriminalisasi
Dari 13 titik konflik yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat berdampak kepada upaya-upaya kriminalisasi kepada petani atau masyarakat adat yang berjuang atas haknya. Terdapat 21 orang menjadi korban kriminalisasi atas konflik yang terjadi. Dimana 13 orang sudah diputus dengan 8 orang diputus bebas atas tuduhan korupsi pada kasus pemindahan ibu kota kabupaten di Nagari Parik Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, dan 5 orang diputus bersalah dengan tuduhan kekerasan pada kasus di Nagari Aia Gadang, Kabupaten Pasaman Barat. Sedangkan 8 orang yang saat ini masih status tersangka atas dugaan penyerobotan lahan yang terjadi di PT. Anam Koto di Nagari Aia Gadang, Kabupaten Pasaman Barat.
Keberpihakan penegak hukum semakin terlihat dimana dalam upaya petani dalam mencari keadilan terus dibaikan. Dimana laporan-laporan yang dilakukan atas tindakan dari pihak perusahaan tidak pernah ditanggapi. Dalam kasus antara petani dengan PT. Anam Koto, Petani sudah melaporkan Perusahaan kepada Kepolisian Pasaman Barat sebanyak 2 kali terkait pengrusakan dan kekerasan, tapi tidak ada petani mendapatkan keadilan hingga saat ini.
Dari konflik agraria yang terjadi saat ini. Diki Rafiqi-Kepala Bidang Sumber Daya Alam menyatakan “melihat Konflik yang terjadi dan tidak adanya keberpihkan negara kepada kaum marjinal (Petani atau masyarakat) sudah saatnya pada hari tani ini kita mendeklarasikan bahwa Sumatera Barat darurat ruang hidup. Selain itu, reforma agraria saat ini hanya seperti ilusi saja.”
Lanjutnya “aturan hukum (UU Ciptaker, UU Minerba dan lain-lain) yang lahir belakangan ini hanya berorentasi kepada pemodal besar saja. Sedangkan nasib petani dan masyarakat adat semakin termajinalkan dan dibenturkan dengan aturan-aturan hukum untuk mengkriminalisasi agar sedapat mungkin petani menghentikan perjuangan haknya atas hal itu.” Ujar Diki Rafiqi
Berdasarkan permasalahan diatas, LBH Padang menuntut :
- Menuntut Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk Lakukan reforma agraria sejati.
- Menuntut Pemerintahan Kabupaten dan pemerintahan Provinsi Sumatera Barat untuk menyelesaikan konfik agraria yang sedang terjadi dengan membentuk tim independen.
- Menuntut kepada Pemerintah daerah dan Pusat untuk memberikan perlindungan kepada petani dalam perjuangan hak.
- Menuntut Kepolisan Republik Indonesia untuk menghentikan kriminalisasi kepada petani.
- Menuntut Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang bermasalah.