6 Dampak Perpu Cipta Kerja Pada Sektor Hutan

6 Dampak Perpu Cipta Kerja Pada Sektor Hutan

Oligarki Leluasa Merusak Hutan: Perpu Cipta Kerja Akan Menjadi Komoditas Utama Dalam Eskploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Sektor Kehutanan, Serta Meminggirkan Hak-hak Masyarakat Dalam Mempertahankan Ruang Hidup.

Suara Rakyat – Perppu Cipta Kerja sebagai kelanjutan ambisi Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melanjutkan ambisi untuk mengubah orientasi kebijakan kehutanan di Indonesia. Sejak adanya UndangUndang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), pengukuhan kawasan hutan sudah bermasalah. Secara faktual ia mendiskriminasi atau meminggirkan klaim atau fakta adanya pihak ketiga dalam kawasan hutan tersebut, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal. Perppu ini justru memperburuk masalah struktural yang sudah ada dalam UU Kehutanan.

Setidaknya ada enam hal dalam Perppu ini yang bisa memicu kerusakan hutan.

Pertama, problematika istilah ‘strategis’. Dalam konteks kewenangan, istilah strategis yang sebelumnya mewajibkan persetujuan DPR RI sebagai prinsip perimbangan kekuasaan, dalam Perppu ini, dihapuskan, termasuk dalam pengukuhan kawasan hutan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Mengenai orientasi, istilah ‘strategis’ mengubah orientasi yang sebelumnya merujuk pada orientasi ekosistem lingkungan, kondisi sosial ekonomi bagi generasi sekarang dan mendatang, menjadi ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Pasal 15, khususnya ayat 4, tentang percepatan pengukuhan pada daerah yang “strategis” berkaitan dengan pasal 4 ayat 2, pasal 19 ayat 2, dan pasal 38 ayat 5. Dalam penjelasan pasal 4 ayat 2, pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat strategis dilakukan dengan persetujuan DPR. Tapi, pada pasal 19 ayat 2 dan pasal 38 ayat 5 poin persetujuan DPR justru dihapuskan. Jadi tidak ada prinsip perimbangan kekuasaan dan membuka ruang tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah. Dalam banyak kasus, pasca pengukuhan kawasan hutan, selain meminggirkan klaim atau fakta adanya masyarakat, juga menjadi dalih mengakomodir 32 33 kepentingan korporasi melalui pelepasan kawasan atau membiarkan aktivitas eksploitasi dengan dalih mengurangi atau meniadakan pengawasan. Artinya, istilah ‘strategis’ ditafsirkan sebagai daerah pembangunan untuk bisnis oleh negara maupun swasta. Dengan adanya perlakuan khusus bagi daerah strategis, maka pengukuhan kawasan hutan yang masih terdapat klaim masyarakat adat atau warga lokal, akan semakin terabaikan. Tentu ini mengancam ruang hidup petani yang tinggal di dalam atau sekitar klaim kawasan hutan.

Kedua, soal pengukuhan dan kecukupan kawasan hutan. Pasal 18 menghapus ketentuan minimal 30% kawasan hutan sebagaimana diatur sebelumnya. Tidak ada alasan (raison d’etre) untuk mengalokasikan 30% kawasan hutan, kekhususan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pulau. Ketentuan ini penting karena Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi. Selain itu konfigurasi daratan bergelombang, berbukit dan bergunung, membuat suatu wilayah rentan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Ini juga sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Meniadakan batas minimal 30% artinya membolehkan dan membenarkan dalih kondisi fisik dan geografis yan tidak terjelaskan secara detil, bebas digunakan untuk mengurangi luas kawasan hutan dari luas yang telah ditetapkan sebelumnya, terutama untuk memuluskan PSN dan/atau proyek pembangunan lainnya yang potensial merusak dan meminggirkan masyarakat.

Ketiga, peminggiran scientific evidence, pada pasal 19, hanya menjadikan bukti berdasarkan sains hanya menjadi dasar pertimbangan, bukan pertimbangan utama atau primer dalam menentukan kawasan hutan. Dihapusnya frasa “berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis”, artinya meniadakan pertimbangan potensi adanya perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan akan datang. Dari pasal ini juga terlihat tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan 34 perubahan fungsi kawasan hutan menjadi tidak jelas. Perubahan penjelasan pasal meniadakan hal konkrit yang masih perlu diatur seperti kriteria fungsi hutan, cakupan luas, pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan tata cara perubahan.

Keempat, problematika sentralisasi perizinan yang membuat politik perizinan menjadi sentralistik ke pemerintah pusat, dan potensial memperlebar kesenjangan. Tentu saja, sentralisasi menjadi karpet merah bagi korporasi besar, tetapi menyulitkan bagi perorangan maupun koperasi. Meniadakan persetujuan rakyat, berarti merusak sistem perimbangan kekuasaan, menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada dalam klaim kawasan hutan, merusak kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat serta menghilangkan hak hidup generasi sekarang dan mendatang. Seperti klaster lain yang memuat Perizinan Berusaha, dalam klaster ini, pasal 26, 27, 28, 29, Perizinan Berusaha menjadi karpet merah buat korporasi besar untuk memonopoli segala hal dari hutan.

Kelima, masalah subyek penerima izin. Ada penyamarataan antara perorangan, koperasi, BUMN, BUMD, dengan BUMS, terutama dalam pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ini terlihat pada pasal 27 yang menghapus klasifikasi subjek penerima izin dari tiga jenis perizinan. Artinya, BUMN, BUMD dan BUMS juga bisa memperoleh izin usaha pemanfaatan kawasan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, termasuk perusahaan asing. Siap-siap melihat perusakan hutan semakin massif karena pasal 31 juga meniadakan upaya penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.

Keenam, potensi meningkatnya kriminalisasi dan hilangnya pidana korporasi. Sejumlah ketentuan pidana yang telah dicabut- bahkan telah dinyatakan inkonstitusional- dihidupkan kembali dan mengancam masyarakat sekitar kawasan hutan. Namun, di sisi lain, ketentuan pidana bagi korporasi justru dihapuskan, sehingga semakin sulit untuk menjerat beneficial ownership (penerima manfaat) korporasi yang melanggar tindak pidana kehutanan. Pada pasal 50 yang mengatur soal pendudukan kawasan hutan-yang sebetulnya tak perlu diatur ulang-malah membuka potensi kriminalisasi petani dengan 35 ancaman pidana paling lama 10 tahun dan denda Rp7,5 miliar. Anehnya, pasal 14 justru menghapus pidana korporasi yang akan semakin menyulitkan menjerat penerima manfaat dari perusahaan yang melanggar atau melakukan tindak pidana.