Putusan Bebas Bagi Pelaku Kekerasan Seksual di Kota Padang

Palu yang dipukulkan sebanyak tiga kali menandakan bahwa terdakwa Pelecehan Seksual terhadap 2 (dua) orang Anak telah Sah untuk dibebaskan segera dihari itu juga, Rabu 8 Juni 2022. Terdakwa yang sudah ditahan sejak 7 September 2021 dibebaskan atas pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa Pelaku tidak terbukti bersalah. Hal ini mengecewakan dengan Putusan Bebas pelaku kekerasan seksual di Kota Padang karena tidak berpihak kepada korban.

Nurani Perempuan WCC bersama LBH Padang menyoroti putusan bebas Kasus Pelecehan Seksual tersebut karena sarat akan logika hukum yang salah. Putusan  membebaskan terdakwa karna tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang di gelar di Pengadilan Negeri Padang pada tanggal 8 Juni 2022 oleh Ferry Hardiansyah, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua, Arifin Sani, S.H. dan Egi Novita, S.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota.

Dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan 2 orang saksi ahli yaitu Dokter dan Psikolog, serta menghadirkan 3 orang saksi lainnya kesemuanya dibawah sumpah memberikan keterangan didalam persidangan. Namun didalam pertimbangannya majelis hakim menolak semua keterangan korban dan menolak keterangan saksi dan juga keterangan saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan logika hukum yang sesat, sebagaimana tertuang dalam salinan putusan pidana nomor 34/Pid.Sus/2022/PN Pdg.

Bahwa dengan menggunakan Pasal 186 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Majelis Hakim menolak keterangan anak, dengan ditolaknya keterangan anak hakim juga menolak keterangan ahli Psikolog yang memeriksa anak dengan alasan keterangan ahli hanya diambil dari keterangan anak korban dan tidak pernah melihat langsung atau memastikan validitas dengan Terdakwa, dan juga keterangan ahli bertolak belakang dengan keterangan saksi A de charge (meringankan) yang dihadirkan oleh PH Terdakwa oleh karena itu keterangan ahli ditolak oleh Majelis Hakim dalam perkara ini. Hal ini tentunya melecehkan logika hukum bahwasannya keterangan anak merupakan bukti petunjuk yang ikut dikuatkan oleh keterangan ahli yang menerangkan dengan keilmuannya bahwasannya jawaban korban anak konsisten dan berkesinambungan dengan yang lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP”.

Logika majelis hakim yang sesat malah menyandarkan fakta persidangan dengan membenarkan keterangan saksi A de charge (meringankan) sebagai alibi yang dihadirkan oleh PH Terdakwa, saksi meringankan tersebut merupakan orang tua dari Terdakwa yang sepatutnya kesaksiannya haruslah ditolak sebagaimana tertuang dalam Pasal 168 KUHAP yang pada intinya saksi sedarah dan atau semenda dengan Terdakwa tidak dapat didengarkan keterangannya sebagai saksi dalam perkara Pidana.

Bahwasannya pada fakta persidangan anak korban diminta untuk mempraktekkan kejadian di dalam ruang sidang, hal ini berdampak pada psikis korban yang menyebabkan korban kembali trauma, hal ini bertentangan dengan dengan Pasal 4 poin d Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadii Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Rahmi Meri Yenti Direktur WCC Nurani Perempuan sebagai lembaga yang bekerja mendampingi perempuan korban kekerasan seksual sangat menyayangkan putusan Hakim membebaskan terdakwa. Nurani Perempuan selama mendampingi kasus-kasus kekerasan seksual, ini adalah kali pertama Hakim memutus bebas pelaku dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Nurani Perempuan dari tahun 2017- 2021 menerima laporan kasus kekerasan seksual sebanyak 300 kasus, ada sekitar 5-9 kasus kekerasan seksual setiap tahunnya yang sampai pada sidang di Pengadilan Negeri. Sepanjang 5 tahun terakhir, putusan ini adalah sejarah buruk Peradilan di Sumatera Barat terutama untuk kasus Pelecehan Seksual terhadap anak. Negara berusaha menghadirkan berbagai kebijakan yang berpihak bagi korban kekerasan seksual, tahun ini Presiden sudah mensahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual nomor 12 tahun 2022. Namun pada faktanya korban masih sulit untuk mendapatkan keadilan, sehingga hak-hak korban tetap tidak terpenuhi.

Decthree Ranti Putri Advokat Publik LBH Padang menyampaikan “Putusan bebas ini merupakan plot twist setelah UU TPKS disahkan, Majelis Hakim telah mencatat sejarah buruk dalam penegakan hukum kasus Kekerasan Seksual di Pengadilan Negeri Padang, UU TPKS jelas menyebutkan keterangan saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya, Ini malah terbalik bagaimana mungkin Majelis Hakim menerima keterangan saksi sedarah dengan Terdakwa yang jelas bertentangan dengan Pasal 168 KUHAP, sementara menolak keterangan korban, saksi dan juga ahli yang dihadirkan oleh JPU kemudian berdalih dengan tidak ada satu alat buktipun yang dapat membuktikan bahwa Terdakwa benar bersalah telah melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap anak”. Decthree Ranti Putri juga menambahkan bahwasannya “Perspektif Hakim harus diperbaiki mengenai pemahaman tindakan cabul/pelecehan seksual, bahwasannya kekerasan seksual dan atau pelecehan seksual tidak melulu meninggalkan bekas luka secara fisik yang terlihat oleh mata, bekas luka yang pasti terjadi adalah bekas luka psikis dan ini hanya mampu dijelaskan oleh ahli psikolog yang keterangannya telah di tolak oleh Majelis Hakim dalam perkara ini”

Oleh karena itu Women Crisis Centre Nurani Perempuan bersama LBH Padang meminta dan mendesak agar Mahkamah Agung dapat menerima kasasi JPU dan mencabut putusan lepas serta menjatuhkan hukuman kepada Pelaku, dan bersama ini juga melaporkan Majelis Hakim dalam perkara ini untuk diperiksa mengenai integritasnya, karna putusan ini sarat akan logika yang salah tentunya menjadi tanda Tanya yang serius serta kecurigaan yang besar, apa yang sebenarnya terjadi?

Subscribe email to get news & updates