"PBHI Sumbar : Stop Impunitas Pelaku Penyiksaan, Negara Harus Segara Ratifikasi OPCAT"

“PBHI Sumbar : Stop Impunitas Pelaku Penyiksaan, Negara Harus Segara Ratifikasi OPCAT”

Suara Rakyat – PBHI melihat dalam kurun waktu 4 tahun ini, kasus kekerasan dan penyiksaan oleh aparat penegak hukum mengalami peningkatan. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2023, sebanyak 30 kasus. Motif penyiksaan oleh aparat kepolisian, seringkali terjadi dalam proses penyelidikan, bahkan dalam kasus-kasus tertetu, terduga pelaku lebih dulu disiksa selama diperjalanan menuju kantor polisi agar terduga pelaku mengakui perbuatannya sesuai dengan arahan polisi. PBHI Sumbar memiliki pengalaman, pada tahun 2018 klien PBHI dituduh melakukan jual beli narkotika, faktanya tidak begitu. Sementara diperjalanan menuju kantor polisi klien kami diintimidasi, dipukul agar mengaku kesalahan yang tidak ia perbuat.

Pada saat itu klien kami tidak didampingi oleh advokat. Karena tidak tahan disiksa karena klien kami sudah termasuk lansia, maka klein tersebut terpaksa mengakui. Namun, ketika PBHI mendampingi dengan fakta-fakta tersebut, kami minta BAP awal dicabut dan membuat BAP baru, dan Kasasi klien kami dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Bagi PBHI, penegakan hukum dengan menggunakan pola-pola kekerasan dan penyiksaan hanya untuk mendapatkan keterangan dari pelaku merupakan cara-cara yang tidak manusiawi, dan jelas ini sudah melanggar aturan HAM baik secara nasional maupun internasional. Kita sudah meratifikasi konvensi internasional. Pada Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dengan tegas menyatakan bahwa tak seorang pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau diperlakukan secara kejam, mendapatkan perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-undang No.5 tahun 1998, namun praktik penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia masih berlangsung di Indonesia, khususnya terjadi di tempat tahanan maupun di tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka.

Pada kasus Afif Maulana, terdapat indikasi penyiksaan terhadap korban kuat sekali ketika kita melihat gambar-gambar luka dan bekas lebam pada tubuh korban yang sudah dirilis oleh LBH Padang. Harapan terhadap Polda Sumbar seharusnya setia dengan fakta-fakta tersebut dan mendalaminya secara profesional, bukan dengan meneror publik dengan rencana mencari orang-orang yang telah memviralkan kematian korban. Sikap Kapolda Sumbar yang demikian justru mengkorformasi bahwa ada sesuatu yang salah dengan prosedur yang dilakukan oleh anggotanya yang patroli pada saat itu.

Koalisi advokat anti penyiksaan sudah melaporkan dugaan penyiksaan ini ke propam Polda Sumbar, kami berharap laporan ini benar-benar diperiksa dengan benar dan serius, tidak sekedar pelepas hutang saja. Penyiksaan ini kejahatan serius yang tidak manusiawi dan menyimpang dari nilai-nilai kepantasan , yang jika dibiarkan terus, hanya gara-gara takut citra corp menjadi buruk, maka kengerian kami adalah pola-pola penyiksaan ini dinormalisasi selamanya dalan proses penegakan hukum dan dianggap sebuah kewajaran.

Sayangnya, meskipun beberapa instrument HAM tentang anti penyiksaan ini sudah banyak di Indonesia tidak menjadi jaminan untuk kasus penyiksaan menjadi berkurang, hal ini menurut kami dipengaruhi oleh beberapa hal :

Proses penindakan hukum yang tidak seimbang terhadap pelaku penyiksaan, karena selama ini yang memproses hukum pelaku adalah bagian dari institusi itu sendiri sehingga ini membuka ruang negosiasi antara pelaku dengan penyidiknya.
Kepolisian masih mengganggap bahwa temuan penyiksaan di tubuh institusi nya ini adalah sebuah cela yang harus ditutupi sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan impunitas, bagaimana kemudian menutupi kasus adalah lebih baik daripada menghukup pelaku penyiksaan. Sampai hari ini pasca diratifikasinya konvenan anti penyiksaan, negara kita belum berkomitmet untuk benar-benar memberantas kejahatan penyiksaan ini dengan serius, hal ini dibuktikan dengan belum diratifikasinya Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Opcat ini penting utk segera diratifikasi karena bergunan untuk mencegah keberulangan penyiksaan.