Korban Penyiksaan Menuntut Keadilan Ke Polda Sumbar

Korban Penyiksaan Menuntut Keadilan Ke Polda Sumbar

Suara Rakyat – LBH Padang dengan Keluarga dan korban Penyiksaaan melakukan aksi di depan Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat.
Aksi ini dimulai dari pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB dalam rangka menyambut hari anti penyiksaan sedunia. Dalam aksi ini, korban penyiksaan menuntut Keadilan ke Polda Sumbar.

Dalam rentatan 2021 sampai 2022 Sumatera Barat di cederai dengan kasus-kasus dugaan penyiksaan. LBH mendampingi 5 kasus dugaan penyiksaan
dalam proses penegakan hukum. Berikut kasus yang diduga mendapat penyiksaan :

Kasus VA

VA(33 tahun) merupakan tersangka dalam kasus tindak pidana curanmor yang ditangkap oleh Kepolisian Resor Tanah Datar pada tanggal 22 Desember 2020. Diduga menjadi korban penyiksaan saat proses pemeriksaan BAP di Kepolisian Resort Tanah Datar. Istri korban dilarang bertemu korban dengan alasan larangan Covid-19.  Istri korban berkali-kali meminta bertemu korban dan akhirnya bisa melihat dari jarak jauh dengan kondisi muka babak belur, bibir bengkak, dan mata lebam. Atas kejadian ini, istri korban melapor ke SPKT Polda Sumbar namun ditolak karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup. Alhasil istri korban melapor ke Propam Polda Sumbar dan diputus permohonan maaf secara etik oleh Majelis Etik terhadap 6 (enam) anggota Kepolisian Tanah Datar. Hingga saat ini, Propam Polda Sumbar tidak mau memberikan putusan etik kepada korban dan pendamping.

Berdasarkan penuturan korban, ia disiksa oleh 5 (lima) orang kepolisian Tanah Datar dengan menggunakan alat perengangan, kayu dan balok. Tidak hanya itu,  sewaktu dilakukan penyiksaan mulut korban dilakban hitam dan juga disulut dengan sulutan rokok.  Terhadap kejadian ini korban mengeluhkan kondisinya seperti badan sakit, bentuk tulang dibawah lutut sudah berubah dan sakit kepala terus menerus bahkan saat kejadian urin mengeluarkan darah.

Dugaan Penyiksaan di Lapas Agam

SA(39) merupakan narapidana kasus pengguna narkoba yang sempat melarikan diri pada tanggal 28 Agustus 2021 dengan cara memanjat pagar.
9 Januari 2022 sekitar pukul 01.30 WIB, korban ditangkap di Kecamatan Tanjung Mutiara oleh pihak Kepolisian Resort Agam dan dibawa ke RSUD Lubuk Basung karena mengalami luka tembak dibagian betis. Padahal dalam video penangkapan yang beredar, korban tidak melakukan perlawanan apa-apa dan tidak ada luka tembak yang tervideokan. Sekitar pukul 03.30 WIB, setelah menjadi perawatan Syafrizal diserahkan ke Lapas Lubuk Basung dan dimasukan ke dalam sel pengasingan.

Keesokan harinya, 10 Januari 2022 korban dikabarkan meninggal dunia dengan posisi leher terikat dengan tali rafia warna merah di selnya, namun kaki terjulur ke lantai dalam posisi duduk. Sewaktu menyerahkan jasad korban, keluarga diminta untuk menandatangani surat berupa: surat penerimaan jenazah, surat tidak menuntut, tidak akan melakukan visum ataupun autopsi. Dalam proses penyelenggaran jenazah keluarga menemukan kejanggalan
seperti adanya luka robek bagian dahi, adanya jahitan di kepala, adanya luka memar bagian tangan kiri, dan telinga mengeluarkan darah. Saat ini sudah
dilakukan serangkaian proses hukum namun proses tidak berjalan lancar. Kepolisian bersikukuh korban bunuh diri namun tidak pernah melakukan otopsi oleh dokter forensik. Pendamping mendorong dilakukan autopsi.

Dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Agam
(Ekstrajudicial Killing)

GA (34 tahun) merupakan tersangka tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak. GA di tangkap sekira pukul 15.00 WIB  di pondok tempat dia bekerja oleh Kepolisian Resor Agam. Dalam proses penangkapan keluarga tidak mengetahui. Kemudian keluarga 20.00 WIB keluarga diminta ke RSUD Lubuk Basung dan sesampainya disana pihak rumah sakit mengatakan korban udah dirujuk ke rumah sakit M. Djamil yang ada di Padang dan menghembuskan nafas terakhir. Sesampainya jenazah dirumah keluarga menemukan kejanggalan pada tubuh korban berupa seperti: luka dan lebam
dibagian kepala dan wajah, pergelangan tangan diduga patah, pendarahan di telinga dan luka memar di bagan kepala. Tim investigasi LBH Padang, menemukan batu yang diceceri darah di lokasi kejadian. Polisi mengatakan korban melawan saat terjadi penangkapan dengan menyerang kepolisian. Saat ini kasus ini sudah di tangani oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat.

Dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Padang
Pariaman

Y 38 tahun merupakan tersangka penyalahgunaan Narkotika. Korban ditangkap didepan rumah orang tuanya sekira pukul 19.00 WIB. Sekira pukul 22.00 WIB korban dibawa oleh kepolisian resor Padang Pariaman dengan keadaan yang sehat. Namun keesokan harinya, keluarga mendapat kabar dari
tetangga yang berobat kerumah sakit mengatakan korban meninggal dunia. Sewaktu keluarga melihat jenazah korban ditemukan kejanggalan seperti : mata lebam, kepala luka sebelah kiri, kepala belakang memar, pelipis atas robek, banyak luka pada kaki, hidung mengeluarkan darah, adanya luka robek di telinga. Saat ini sudah dilaporkan kepada Kepolisian Resor Padang Pariaman hanya saja masih sampai proses penyelidikan.

Dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Lapas
Sawahlunto

SY laki-laki 42 tahun merupakan narapidana atas kasus penyalahgunaan Narkoba di Lapas Biaro yang kemudian dipindahkan ke Lapas Sawahlunto tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga. Pada tanggal 23 Mei 2022, keluarga mendapat telepon dari pihak Lapas Sawahlunto yang mengatakan bahwa korban mengalami sakit dan tidak sadarkan diri dengan alasan putus obat. Pukul 19.30 keluarga mendatangi RSUD Sawahlunto untuk melihat kondisi dari korban dalam keadaan tak sadarkan diri. Berdasarkan rekam medis, didiagnosa korban ada meningitis dan suspect TB. Keesokan harinya korban dikabarkan meninggal dunia. Sewaktu penyelenggraan jenazah keluarga menduga adanya pelanggaran HAM berupa penyiksaan yang dialami korban dengan melihat berbagai kejanggalan yang ada pada tubuh korban seperti adanya cairan seperti darah yang keluar dari hidung, luka dipergelangan tangan, punggung seperti ada luka cambuk, adanya luka lebam pada dada serta banyak luka lebam di bagian tangan.

Hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam kondisi apapun (non-derogable rights), yang telah tegas diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kendatipun setiap tersangka diduga kuat telah melakukan tindak pidana, semestinya dilakukan penegakan hukum sebagaimana yang telah diatur oleh ketentuan hukum (acara) pidana yang berlaku.  LBH mengecam setiap proses penegakan hukum dengan melanggar hukum dan hak asasi manusia”, tegas Adrizal.  

Hak atas peradilan yang adil, khususnya hak untuk tidak disiksa sesungguhnya telah diatur dan dijamin oleh banyak regulasi di Indonesia. Diantaranya terdapat dalam Pasal 28 I Undang Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:  setiap orang berhak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kemudian, Pasal 4 Undang -Undang Nomor 39 tahun 1999 menyebutkan bahwa Hak Untuk Hidup, Hak Untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak atas tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Tak hanya itu, konteks penyiksaan juga diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) juga secara tegas mengatur bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan.

Bahkan, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas menempatkan hak untuk  tidak disiksa sebagai bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Oleh karenanya, LBH Padang
mendesak:

  1. Mengecam segala bentuk penyiksaan, terutama dalam proses penegakan hukum serta mengecam proses penegakan hukum dengan (cara-cara)
    melanggar hukum;
  2. Mendesak Polda Sumbar mengusut tuntas semua kasus dugaan penyiksaan yang ada di Sumatera Barat secara objektif dan profesional, serta menindak tegas setiap pelaku yang terbukti melakukan  penyiksaan dan melanggar prosedur, baik secara pidana dan etik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Polda Sumbar untuk melakukan evaluasi besar-besaran (masif) terhadap seluruh jajaran kepolisian di Sumatera Barat, serta melakukan tindakan-tindakan preventif dan progresif untuk memastikan kejadian penyiksaan atau tindakan melanggar hukum dalam proses penegakan hukum tidak kembali berulang serta  kepolisian tidak lagi membudayakan praktek  penyiksaan baik berupa fisik maupun psikis dalam rangkaian proses penegakan hukum;
  4. Kapolri, Kompolnas Republik Indonesia, dan Komnas HAM RI untuk turut memantau dan memastikan agar proses hukum dalam semua dugaan penyiksaan dan kekerasan  dapat berjalan secara objektif, profesional, dan transparan. Serta membuat sebuah kebijakan yang secara khusus membahas terait dengan penyiksaan.

Sudah saatnya polisi kita melindungi HAM, beradab dan berperikemanusiaan. Jangan sampai polisi kita menjadi penjahat berseragam. Selamat hari anti penyiksaan. Perjuangan korban masih panjang.

Subscribe email to get news & updates