Ketidaksiapan, Ketidaktransparanan serta Arogansi Universitas Andalas Sebagai Tuan Rumah Munas BEMSI 2021, Berujung pada Penelantaran Peserta Munas

Padang, 29 Maret 2021, Aliansi BEM Seluruh Indonesia, sebuah aliansi yang beranggotakan ratusan kampus yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia  melaksanakan Musyawarah Nasional tahunan di Padang, dengan Universitas Andalas sebagai tuan rumah. Musyawarah Nasional ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan sekaligus menentukan regenerasi gerakan mahasiswa Indonesia kedepan. Selain itu, Musyawarah Nasional merupakan agenda tahunan untuk memutuskan berkaitan dengan regenerasi struktural dan fungsional Aliansi BEM Seluruh Indonesia.

Mengingat begitu sakral dan pentingnya agenda Musyawarah Nasional tahunan ini, seharusnya diikuti dengan kesiapan dari tuan rumah sebagai fasilitator terselenggaranya agenda ini. Karena, kesiapan dari tuan rumah menjadi salah satu faktor keberhasilan dan penentu kualitas keputusan yang dihasilkan dalam forum. Namun, sangat disayangkan selama proses penyelenggaraan Musyawarah Nasional, sejak dari awal pendaftaran hingga pelaksanaan, ditemukan beberapa kejanggalan yang mengarah kepada ketidaksiapan tuan rumah dalam menyelenggarakan Musyawarah Nasional. Hal ini yang cukup dikhawatirkan oleh peserta. Terrlebih, akhirnya yang terlihat adalah potensi kepentingan sektoral yang dimunculkan, bukan malah kepentingan nasional.

Ketidaksiapan tuan rumah diawali dengan keputusan sepihak yang memilih Universitas Andalas sebagai tuan rumah Musyawarah Nasional. Padahal, Universitas Andalas berdasarkan hasil Musyawarah Nasional tahun sebelumnya merupakan tuan rumah Rapat Kerja Nasional. Seyogyanya, jika ada perubahan yang berujung pada pengambilan keputusan, harusnya dilakukan musyawarah pengambilan keputusan  yang melibatkan seluruh unsur yang ada di Aliansi BEM Seluruh Indonesia. Hingga saat ini, tidak ada klarifikasi resmi dari Pengurus Inti Aliansi dan tuan rumah. Bahkan, beberapa pengurus inti pun tidak merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal itu diperparah dengan maju mundurnya timeline pelaksanaan Musyawarah Nasional tahun ini.

Secara teknis, yang diputuskan sepihak oleh tuan rumah, Musyawarah Nasional tahun ini dilaksanakan dengan skema hybrid (daring-luring). Dengan keputusan final yang diumumkan oleh panitia, bahwa peserta luring kuotanya berjumlah maksimal 150 peserta. Selain tanpa pertimbangan yang rasional, panitia juga tidak mampu memberikan penjelasan berkaitan dengan skema atau teknis yang digunakan untuk memastikan forum atau sidang, baik secara luring maupun daring akan berjalan dengan baik tanpa melangkahi substansi dan merampas hak yang dimiliki oleh peserta.  Seharusnya, panitia mampu memastikan terselenggaranya sistem yang adaptif dengan pandemi atau potokel kesehatan. Tidak komunikatifnya  dan nihilnya sosialisasi oleh tuan rumah menambah akumulasi kekecewaan dari peserta Musyawarah Nasional tahun ini.

Selama proses menuju Musyawarah Nasional, terkhusus saat proses verifikasi, panitia sama sekali tidak transparan. Padahal, transparansi merupakan salah satu faktor penunjang terselenggaranya ruang demokrasi. Hingga saat ini, panitia belum mampu menunjukan data final hasil verifikasi. Padahal, Musyawarah Nasional sudah mulai berjalan. Panitia mendalilkan beberapa delegasi kampus yang tidak diijinkan masuk kedalam forum sidang merupakan kampus yang belum selesai dalam hal administrasi. Padahal, panitia pun tidak mampu menjelaskan dan memberikan transparansi berkaitan dengan verifikasi kampus yang sudah terdaftar untuk mengikuti Musyawarah Nasional. Dengan dalih administrasi, secara arogan panitia melampaui kewenangannya dengan  menghilangkan hak anggota Aliansi BEM Seluruh Indonesia. Bahkan, ada temuan perubahan status keanggotan Aliansi. Jika tidak segera diselesaikan, sama saja dengan membiarkan kefatalan tersebut terjadi dan seolah diamini.

Saat ini, ada belasan kampus yang bersusah payah untuk sampai di tempat Musyawarah Nasional  namun tidak diakomodir dan seolah ditelantarkan oleh tuan rumah. Bukannya memfasilitasi semangat dan aspirasi yang dibawa oleh belasan kampus yang berjuang susah payah hingga sampai ke lokasi tersebut, tanpa tanggung jawab tuan rumah malah meminta belasan kampus tersebut untuk pulang. Panitia berdalih, jika belasan kampus tersebut belum selesai dalam hal administrasi. Panitia secara bijak harusnya menyelesaikannya, bukan malah mengusirnya. Tuan rumah secara terang-terangan menunjukkan ketidakramahannya dalam menyambut tamu. Kegagalan dan kedangkalan berpikir panitia adalah dengan menyeragamkan kondisi seluruh kampus.

Selanjutnya, panitia juga menyampaikan salah satu pertimbangan untuk tidak memperbolehkan belasan kampus tersebut masuk adalah kuota maksimal sejumlah 150 tersebut sudah terpenuhi. Selain tidak mampunya panitia menunjukan dari daftar hingga tranparansi verifikasi 150 peserta tersebut,  panitia pun tidak mampu menjawab bahwa sebenarnya masih banyak bangku kosong yang dapat diisi oleh belasan kampus yang ada diluar. Secara rasional, melihat fakta yang ada panitia sendiri sudah melanggar keputusannya, dengan adanya undangan ditambah panitia yang akhirnya melebihi 150 orang yang berada didalam gedung. Jika yang dikhawatirkan adalah masalah pandemi dan protokoler kesehatan, belasan kampus tersebut padahal membawa dokumen surat keterangan medis yang mnerangkan tidak terindikasi tertular Covid-19. Dari sisi protokoler, idealnya, lebih baik memasukan belasan kampus tersebut masuk kedalam ruangan dengan tertib protokoler daripada membiarkannya bererumun diluar.

Hingga detik ini, belum ada kejelasan nasib dari belasan kampus tersebut. Selain tanpa pijakan filosofis dan yuridis yang dapat diterima, salah satu alasan yang dimunculkan oleh panitia untuk tetap tidak memasukkan mereka adalah  menghargai perjuangan kampus yang sudah selesai administrasinya. Padahal, forum yang berisikan kampus yang diklaim sudah selesai dalam hal administrasi tersebut yang meminta agar belasan kampus tersebut untuk diperkenankan bergabung dengan forum didalam gedung. Forum mendesak agar keputusan dikembalikan kepada kedaulatan peserta yang diambil melalui forum yang demokratis. Bukan kemudian melaui kepututusan sepihak panitia atau tuan rumah. Panitia sudah melampaui kewenangan dengan menihilkan hak keanggotaan kampus.

Tidak hadirnya Pengurus Inti Aliansi yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan ini menambah kekecewaan peserta Musyawarah Nasional. Seharusnya, dengan menimbang kondisi yang ada, hadirnya Pengurus Inti Aliansi dapat mengakomodir aspirasi dari peserta. Kehadiran aparat yang dibiarkan juga akhirnya membuka potensi intervensi pihak luar aliansi. Sehingga, akan berdampak pada independensi dan marwah dari aliansi. Pengurus Inti pun seolah lepas tanggung jawab dengan tidak mampu memberikan draft tata tertib yang ditagih dan ditanyakan oleh peserta Musyawarah Nasional. Serentetan kejadian ini diperparah dengan statement tuan rumah yang cukup feodal. Salah satu tuan rumah menyampaikan jika “ini tanah Minang”. Padahal jika sudah bersepakat mengikatkan diri dalam aliansi nasional, tindakan bahkan ucapan yang tendensius semacam itu tidak seharusnya ada.

Saat ini, forum ditunda dan dilanjutkan esok hari. Peserta mendesak agar secara bijak panitia harusnya tidak memperkeruh keadaan dan harusnya menyederhanakan persoalan. Peserta Munas juga mendesak agar kedaulatan anggota yang menjadi Marwah dari aliansi harus ditegakkan dan dihargai oleh panitia. Peserta Munas juga menegaskan, agar jargon solidaritas dan soliditas perjuangan mahasiswa tidak mengenal standar ganda. Saatnya meninggalkan seluruh kepentingan sektoral dan mendahulukan keutuhan dan kepentingan Aliansi secara universal.

Peserta juga meminta komitmen bersama agar tidak dimulainya sidang sebelum diselesaikannya dan diakomodirnya aspirasi dari belasan kampus tersebut.